3 MENIT BACA
Langkah Kecil untuk Pertumbuhan Rohani Anda!
8 Pebruari 2013
320. Pernikahan Kristen (lanjutan)
Jika kita
perhatikan, semua Injil yang merupakan paralel Injil Matius sama sekali tidak mencatatnya.
Kita tidak menemukan, baik dalam Injil Markus maupun Injil Lukas, kata
“pengecualian” tersebut di atas. Yang ada hanyalah larangan untuk tidak bercerai.
Oleh karena itu, sebaiknya kita memahami ayat tersebut dalam konteks Matius, di
mana Injil ini ditujukan pertama kali kepada jemaat Yahudi yang memiliki latar belakang
Taurat. Dalam Taurat Yahudi dinyatakan dengan jelas bahwa hukuman bagi mereka
yang melakukan perzinahan adalah hukuman mati (bandingkan dengan Ulangan
22:13-30). Ini berarti, pada saat hukuman diberikan ikatan pernikahan sudah tidak
ada lagi karena pihak yang berzinah sudah dihukum mati. Ini sejalan dengan
pengajaran Perjanjian Baru di mana suami-istri tidak boleh bercerai selain
diceraikan oleh kematian. Rasul Paulus juga menegaskan kebenaran ini dalam Roma
7:2-3,
“Sebab
seorang istri terikat oleh hukum kepada suami-nya selama suaminya itu hidup.
Akan tetapi apabila suami-nya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya
kepada suaminya. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah kalau ia menjadi
istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga
ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”
Jadi,
saya tegaskan kembali di sini bahwa Allah tidak menghendaki perceraian. Biarlah
keluarga yang bermasa-lah datang kepada Allah yang memberkati pernikahan itu supaya
hubungan suami-istri yang sudah tawar ditolong oleh Tuhan Yesus. Biarlah juga diyakini
sungguh-sungguh bahwa Dia sanggup mengubahnya, seperti air yang tawar diubah menjadi
anggur yang manis pada pernikahan di Kana.
---
Dikutip dari buku Bagaimana Kristen Berpacaran (Mangapul Sagala, 2011: hal. 57), seizin Literatur Perkantas.