Heningnya Penguburan (lanjutan)


3 MENIT BACA
Langkah Kecil untuk Pertumbuhan Rohani Anda!


25 Maret 2013
350.     Heningnya Penguburan (lanjutan)

Setahun sesudah kematian ada kebiasaan untuk mengumpulkan tu­lang-tulang dan menaruhnya dalam penyimpanan tulang atau dalam osu­arium. Praktik ini kadang disebut penguburan kedua, dapat ditemukan dalam penggalian arkeologis terhadap kubur-kubur Yahudi dari zaman Yesus. Ini juga diteguhkan dalam literatur rabinik lebih terkini: “Apabila daging telah habis mereka mengumpulkan tulang-tulang dan mengubur­kannya di tempat mereka sendiri” (m. Sanhedrin 6:6); “Putraku, kuburkan aku lebih dulu di tempat penampungan tulang. Selang beberapa waktu, kumpulkan tulang-tulangku dan taruh mereka dalam osuarium tetapi jangan mengumpulkan mereka dengan tanganmu” (Semahot 12.9; bnd. Semahot 3.2). Kebiasaan menunggu dua belas bulan dari penguburan per­tama ke penguburan kedua juga diteguhkan dalam literatur rabinik (bnd. B. Qiddushin 31b).

Namun, untuk para penjahat yang dihukum mati, peraturannya ber­beda. Penjahat harus dikuburkan dengan layak, namun bukan di tempat-tempat terhormat, seperti di kuburan keluarga. Hal ini jelas diajarkan dalam tulisan terawal para rabi: “Mereka tidak menguburkan (penjahat yang dihukum mati) di tempat penguburan nenek moyang mereka. Tetapi dua tempat penguburan disediakan oleh Sanhedrin, yang satu untuk mereka yang dihukum penggal atau dicekik, dan satu lagi untuk mereka yang dirajam atau dibakar” (m. Sanhedrin 6:5); “Baik mayat atau tulang dari mayat tidak boleh dipindahkan dari tempat celaka ke tempat terhormat; tetapi jika ke kuburan keluarga, bahkan dari tempat terhormat ke tempat celaka, diperbolehkan” (Semahot 13.7). Tidak saja mayat para penjahat tidak boleh dikuburkan di tempat terhormat, ratapan publik untuk para penjahat yang dihukum mati pun tidak diizinkan: “Mereka tidak boleh meratap (secara terbuka)… sebab ratapan cukup mengambil tempat da­lam hati saja” (m. Sanhedrin 6:6).

---
Dikutip dari buku Hari-hari Terakhir Yesus (Ed. Troy A. Miller, 2010), seizin Literatur Perkantas.

Esok: Heningnya Penguburan (lanjutan)