3 MENIT
BACA
Langkah
Kecil untuk Pertumbuhan Rohani Anda!
19 April 2013
363. Berbagi Nama Ilahi dan Gelar Ilahi
(lanjutan)
Ini
bukan sinkretisme. Kebijakan orang Israel memakai gelar baal, “tuan,”
untuk Yahweh tak beda dengan kebijakan orang Jawa-Sunda memakai gelar gusti,
“tuan,” untuk Allah. Keduanya sama-sama berlatar belakang setempat (Kanaan dan
Jawa-Sunda). Hanya, seiring waktu berjalan, gelar baal rupanya makin
identik dengan ilah-ilah Kanaan sehingga orang Israel memutuskan untuk
mencampakkannya. Meskipun begitu, Sang Pencipta tak keberatan menyimpan catatan
dalam Buku-Nya bahwa pada suatu masa gelar itu layak digunakan untuk-Nya.
Melompat
ke Perjanjian Baru, ke zaman pengaruh budaya Yunani atas kawasan Asia Barat,
kita mendengar para rasul memanggil Sang Pencipta dengan nama Yunani Theos.
Sungguhpun mereka orang Ibrani, mereka tidak merasa harus terikat dengan nama Yahweh,
bahkan ketika bersurat kepada sesama orang Ibrani. Theos tentu saja
sudah lama dikenal orang Yunani dan bersentuhan pula dengan kekafiran mereka.
Seperti sudah kita singgung di atas, bentuk jamaknya, theoi, merujuk
kepada segala dewa-dewi Yunani.
Kebijakan
para rasul dan kaum Nasrani mula-mula memakai nama Theos untuk Sang
Pencipta tak beda dengan kebijakan orang Nasrani Inggris dan orang Islam memakai
nama God untuk Sang Pencipta. Kita mafhum bahwa leluhur orang Inggris
memanggil ilah-ilah lain dengan sebutan god pula. Kita juga mafhum bahwa
orang Islam lazim menginggriskan “bismillah ir-Rahman ir-Rahim” (dengan
nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang) menjadi “in the name of God,
most Gracious, most Compassionate.” Terlepas dari itu, istilah “teologi”
yang hari ini dipergunakan kaum Nasrani ataupun Islam menunjukkan bahwa nama Theos
(“teo”) sudah berterima sebagai nama Sang Pencipta.
Nah,
bani Israel dan orang Nasrani mula-mula tak sungkan menggunakan nama ilahi yang
sudah dikenal orang Kanaan, orang Aram, atau orang Yunani. Mereka tidak merasa
gerah berbagi nama ilahi dan gelar ilahi dengan orang-orang itu. Adakah alasan
kita enggan menyebut Sang Pencipta dengan nama ilahi dan gelar ilahi serupa
dari latar budaya-budaya lain?
---
Dikutip dari buku Tuhan Gunung atau Tuhan
Alam Semesta? (Samuel Tumanggor, 2011: hal. 53-55), seizin Literatur
Perkantas.