3 MENIT
BACA
Langkah
Kecil untuk Pertumbuhan Rohani Anda!
2 Juli 2013
399. Sebelum Memuja Banyak Tuhan (lanjutan)
Menurut Kitab Suci, itulah dampak kejatuhan ke dalam
dosa—“sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai
Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi
sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm. 1:21). Hati bodoh yang
menggelap itu gampang saja mengenakan nama Ilah Tertinggi kepada ilah-ilah
lain. Maka nama khusus turun pangkat jadi nama umum: satu El menjadi banyak el,
satu Deus menjadi banyak deus, dan satu Hiang menjadi banyak hiang. Andrew Lang
(1844-1912), penulis Skotlandia yang punya sumbangan besar di bidang
antropologi, mengatakannya demikian:
Manusia, sebagaimana adanya dia, tentunya ‘bersundal’ dengan hantu-hantu berguna, para tuhan-hantu, dan jimat-jimat praktis yang dapat ditaruhnya dalam dompet atau kantong obatnya. Karena hal-hal ini pastilah ia, dalam jangka panjang, mula-mula melalaikan pemikirannya tentang Penciptanya. Selanjutnya, mungkin, ia menganggap Dia hanya salah satu, meskipun yang tertinggi, dari roh-roh atau ilah-ilah jelata yang dapat disogok dan mempersembahkan kurban kepada-Nya sama seperti kepada mereka. Dan inilah persisnya yang terjadi! Kalau kita tidak boleh menyebutnya ‘kemerosotan,’ bagaimana kita harus menyebutnya? Ini mungkin teori lama, tetapi fakta-fakta tak dapat usang, dan berada di pihak teori lama.
Fakta “kemerosotan” itu, ketika dihadapkan dengan fakta
penggunaan nama El dan Theos dalam Alkitab, mendorong kita bijak menyikapi
nama-nama ilahi dari berbagai budaya. Tak semua nama ilahi dapat dikenakan
kepada Sang Pencipta. Sebagai contoh, walaupun orang Israel menerima nama El,
mereka menolak nama Molokh dan Kamos. Mengapa? Karena ilah bangsa Amon dan ilah
bangsa Moab itu tidak memiliki gambaran Ilah Tertinggi yang mahakuasa dan
mahakasih—gambaran yang seperti Yahweh! Ada pula gelar ilahi seperti Baal yang
bisa digunakan tetapi kemudian harus digusur karena maknanya bergeser. Namun,
di luar itu, setiap Ilah Tertinggi bangsa-bangsa yang memiliki gambaran seperti
Yahweh dapat leluasa kita akui sebagai Tuhan Pencipta yang menyatakan diri
kepada bangsa-bangsa.
---
Dikutip dari buku Tuhan Gunung atau Tuhan
Alam Semesta? (Samuel Tumanggor, 2011: hal. 56-57), seizin Literatur
Perkantas.