3 MENIT
BACA
Langkah
Kecil untuk Pertumbuhan Rohani Anda!
3 Juli 2013
400. Sebelum Memuja Banyak Tuhan (lanjutan)
Seorang Nasrani yang asyik menelaah “fenomena” Ilah Tertinggi itu
adalah Wilhelm Schmidt (1868-1954), rahib Austria merangkap ahli bahasa,
antropologi, dan etnologi. Buku masyhurnya, The Origin and Growth of Religion,
menjebol teori antropologi berbasis paham evolusi yang menguar-uarkan bahwa
agama manusia menempuh proses evolusi dari pemujaan banyak tuhan (politeisme)
kepada pemujaan satu Tuhan (monoteisme). Schmidt tekun meneliti lalu
mengungkapkan bahwa sebaliknyalah yang benar: suku-suku dan bangsa-bangsa di
dunia sejak awal mengenal dan memuja satu Ilah Tertinggi atau Keberadaan
Tertinggi tetapi kemudian “bersundal” dengan banyak ilah. Pemujaan satu Tuhan
mendahului, atau merosot menjadi, pemujaan banyak tuhan.
Ini serasi dengan kesaksian Alkitab bahwa Adam dan Nuh, leluhur
umat manusia, hanya mengenal dan memuja satu Tuhan. Jadi, bangsa-bangsa di
bumi, yakni seluruh keturunan mereka, pastilah memiliki pengenalan asali
tentang satu Ilah Tertinggi. Samuel Zwemer (1867-1952), sarjana dan pendakwah
AS, menyelisik hal itu (lewat data Schmidt dan data-data lainnya) lalu
mengikhtisarkan bagi kita: “Sang Keberadaan Tertinggi pada umumnya digambarkan
dalam tradisi primitif sebagai sosok yang sama sekali baik. Ia disebut dengan
beragam nama yang menunjukkan kebapaan, kuasa untuk mencipta, atau bertempat
tinggal di langit. … Atribut-atribut Tuhan-tertinggi atau Roh Agung, yang
dikenal dengan beragam nama dan di wilayah-wilayah terpisah yang luas, selalu
hampir sama, yakni: kekal, mahatahu, murah hati, mahakuasa, dan berwenang
memberi ganjaran moral serta hukuman.”
---
Dikutip dari buku Tuhan Gunung atau Tuhan
Alam Semesta? (Samuel Tumanggor, 2011: hal. 57-58), seizin Literatur
Perkantas.
Esok: Sebelum Memuja Banyak Tuhan (lanjutan)